Lensa Maluku, – Menutup tahun 2025 dan memasuki tahun baru 2026, Gerakan Sayang Maluku (GSM) membuat refleksi terhadap perjalanan sepanjang satu tahun. Refleksi itu secara khusus menyoroti tentang situasi sosial-kemasyarakatan di Daerah Seribu Pulau.
Menurut GSM, di sana-sini masih ada letupan-letupan mengejutkan dan mencemaskan, namun Maluku tetap bisa diandalkan sebagai tanah damai bagi semua orang. Pasalnya, letupan-letupan tersebut hanyalah kejadian-kejadian insidentil, dan tidak menjadi karakter dan perilaku sehari-hari orang Maluku
Dalam siaran pers yang diterima Rabu (31/12/2025), Koordinator GSM Yani Salampessy menyebutkan kasus paling akhir yang menyita perhatian publik adalah peristiwa berulang di Kawasan Kampus UIN AM Sangadji Ambon.
Menurut Yani, meskipun kasus tersebut melibatkan kelompok-kelompok orang muda di sekitar Kampus UIN AM Sangadji Ambon, namun resonansi konflik itu telah bergerak secara liar ke mana-mana, termasuk di media sosial.
“Seperti bara api yang tidak pernah tuntas dipadamkan, bara itu terus berasap dan sekali-kali bisa menyala kembali,” kata Yani Salampessy.
Gerakan Sayang Maluku berpendapat, TNI dan Polri bersama Wali Kota Ambon sudah melakukan apa yang menjadi tugas dan kewenangannya. Namun karena kasus tersebut punya banyak dimensi, tidak gampang menyelesaikannya jika tidak ada intervensi ekstra.
“Kasus ini perlu ditangani secara komprehensif dan mestinya melibatkan banyak pemangku kepentingan. Tidak bisa menyerahkan semua ini hanya kepada TNI-Polri dan Wali Kota Ambon. Butuh intervensi ekstra,” terangnya.
Intervensi ekstra, menurut Yani, perlu dilakukan mengingat para pemuda yang terlibat dalam konflik tersebut telah membawa dan terbawa identitas etnis.
“Nama Negeri Kailolo, nama suku Kei, dan nama Kabupaten SBT sudah terbawa-bawa dalam peristiwa ini. Ini rawan sebab unsur S (Suku) dalam kerawanan SARA bisa meluas ke mana-mana”.
Sebab itu, menurut Yani, GSM menyerukan para kepala daerah seperti Bupati Malra, Wali Kota Tual, Bupati SBT, dan Bupati Malteng perlu duduk satu tikar. Selain itu, Raja Kailolo, Raja Batumerah, Raja dari SBT dan Raja dari Kei, juga perlu dilibatkan.
“Ini kasus sudah terbuka dan masih bergulir liar dalam amarah dan dendam. Jangan biarkan Wali Kota Ambon sendiri berjuang padam bara di tanah Ambon. Kepala daerah dan tokoh adat di luar Ambon juga perlu melihat anak-anaknya yang ada di Ambon,” pinta Yani.
Jika kasus tigas entitas, Kailolo, Kei, dan SBT bisa jedah dan berhenti sama sekali dari konflik terbuka, maka selanjutnya Maluku bisa masuki tahun 2026 sebagai tahun tanpa kekerasan.
“Jika bupati-wali kota dan para tokoh adat bisa selesaikan kasus ini, maka Maluku bisa canangkan tahun 2026 sebagai tahun tanpa kekerasan komunal. Itu harus menjadi tekad kita,” tegas Yani.
Jika tidak ada intervensi, tidak ada damai di kawasan sekitar Kampus UIN Ambon, Yani yakin Maluku hanya akan mengulang kebodohan-kebodohan yang sama, tawuran pemuda, baku lempar, baku bakar, bongkar rumah, pele-pele jalan, serta tindakan anarkis dan provokatif lainnya.
GSM meminta Kapolda Maluku dan Polres Ambon Lease agar memperhatikan dengan serius tuntutan keluarga
korban penusukan agar menangkap pelaku penusukan. GSM juga mengajak warga membantu kepolisian dengan memberi informasi terang benderang tentang identitas pelaku dan keberadaannya.
“Dengan begitu, penegakan hukum bisa berjalan, sekaligus usaha perdamaian bisa seiring sejalan. Percuma kita bicara damai, tetapi keluarga korban tidak mendapat keadilan. Sebab itu, hukum dan perdamaian harus seiring sejalan,” papar Yani Salampessy.
Yani menyerukan warga Maluku menghindari konflik komunal, apalagi yang dipicu oleh persoalan individual. Apabila terjadi gesekan antar personal, bawalah itu kepada raja, kades, polisi, bukan saling provokasi untuk menciptakan kelompok lawan kelompok.(LM-05)













Discussion about this post