Lensa Maluku, – Upaya penutupan kawasan Gunung Botak (GB) oleh Pemerintah Provinsi Maluku menuai reaksi dari berbagai elemen masyarakat.
Salah satu keberatan yang kini mencuat adalah permintaan agar Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa, meninjau kembali penutupan itu karena mendekati perayaan Natal dan Tahun Baru.
Mereka mengingatkan bahwa banyak warga Kristen yang menggantungkan hidupnya di sana.
Alasan yang disampaikan seolah logis di permukaan: ini soal penghidupan, soal perut rakyat kecil. Tapi jika dibiarkan tanpa arah yang tegas dan konsisten, maka pemerintah akan terus tersandera oleh siklus permintaan berdasarkan momen keagamaan dan sosial. Jika sekarang karena Natal, lalu setelah itu karena Ramadan, lalu Lebaran, lalu pesta negeri, dan seterusnya — sampai akhirnya tidak ada lagi penutupan yang benar-benar dijalankan dengan tegas.
Kita tidak sedang mengabaikan dimensi religius masyarakat. Justru sebaliknya: dalam semangat keagamaan itulah, seharusnya kita lebih sadar pada nilai tanggung jawab terhadap lingkungan, terhadap keadilan sosial, dan terhadap aturan hukum.
Membawa-bawa agama dalam diskusi soal regulasi tambang rakyat — terlebih dalam bentuk tekanan politis — adalah bentuk lain dari politisasi agama yang mesti dihindari. Bukan hanya berbahaya bagi kewibawaan pemerintah, tapi juga menyandera kepentingan umat beragama itu sendiri.
Gubernur harus tetap tegas dengan keputusan penutupan sementara GB, sambil membuka ruang evaluasi menyeluruh. Jika ada yang perlu diperbaiki dari segi regulasi, legalitas kerja rakyat, hingga skema pemberdayaan ekonomi alternatif, maka itu yang harus dikedepankan — bukan tarik-menarik kepentingan berdasarkan momentum agama.
Bila pemerintah goyah karena tekanan sesaat, maka pesan yang tersisa adalah bahwa hukum bisa dinegosiasi. Padahal justru dalam masa-masa menjelang perayaan keagamaan seperti Natal dan Puasa, yang dibutuhkan rakyat adalah kepastian, keadilan, dan keberpihakan yang benar — bukan sekadar toleransi yang semu.(LM-04)
Discussion about this post