Lensa Maluku, – SERATUS hari bukan waktu yang panjang dalam putaran pemerintahan, namun cukup bagi rakyat untuk merasakan arah angin kepemimpinan.
Di Kabupaten Buru, harapan bertunas seiring langkah Bupati, Ikram Umasugi dan Wakil Bupati, Sudarmo yang baru menapaki hari-hari awal pengabdiannya. Rakyat menanti, dengan dada penuh harap dan mata yang menelisik: sejauh mana cinta pemimpin berpijak pada tanah yang mereka sebut rumah.
Cinta seorang pemimpin bukan hanya tentang hadir di tengah rakyat, tetapi bagaimana ia bekerja dalam diam, membenahi yang rusak, mengobati yang luka, dan membangun jembatan harapan antara janji dan bukti. Dalam seratus hari, arah kebijakan mulai terlihat, pilihan prioritas mulai terasa, dan keberpihakan mulai diuji.
Di dataran Waiapo, petani menanti tangan pemerintah yang ringan memberi alat, pupuk, dan jaminan pasar. Di pesisir Teluk Kayeli, nelayan berharap akses dan fasilitas ditingkatkan. Di pelosok desa, guru dan bidan mendamba keadilan distribusi perhatian dan anggaran. Dan di kota Namlea, masyarakat ingin melihat wajah kota yang rapi, jalan-jalan yang layak, serta birokrasi yang manusiawi.
Cinta tak selalu lantang dalam pidato, tapi nyata dalam keputusan-keputusan kecil yang berpihak pada yang lemah. Itulah cinta pemimpin sejati: tak sekadar memerintah dari balik meja, tapi hadir dalam denyut kehidupan rakyatnya.
Seratus hari pertama bukanlah garis akhir, tetapi fondasi untuk lima tahun ke depan. Dari sinilah kita mulai menakar: adakah cinta pemimpin benar-benar berpijak di tanah rakyat? Ataukah hanya singgah dalam bilik kekuasaan yang dingin dan jauh dari nurani?
Rakyat telah memilih. Kini saatnya pemimpin membuktikan, bahwa kekuasaan bukan untuk diagungkan, melainkan untuk melayani. Karena sejatinya, cinta pemimpin tak diukur dari gelar atau jabatan, tapi dari bekas yang ia tinggalkan di hati rakyatnya.(LM-04)
Discussion about this post