Lensa Maluku,- Pulau Buru selain memiliki potensi hutan kayu, juga memiliki potensi hutan bukan kayu seperti gaharu alam, damar, lebah madu, rotan dan kayu putih Dan Emas.
“Potensi hutan bukan kayu ini jika dikelola dengan baik akan menambah penghasilan masyarakat,” kata M Taib Warhangan , tokoh pemuda adat Bupolo, saat ditemui di Namlea, Sabtu (1/6/2024).
Menurutnya, selama ini masyarakat di sekitar hutan hanya merasakan dampak ekologis dari potensi hutan yang ada, sementara dampak ekonomisnya belum dinikmati dengan baik.
“Bahkan sering terjadi konflik antara masyarakat setempat dengan pihak Perusahan yang bergerak di bidang Hak Pengelolaan Hutan (HPH),”akui advocaat muda yang cukup populer di kalangan millenial ini.
Hasil hutan alam di Kabupaten Buru khususnya, banyak ditemui di pedalaman Pulau Buru. Sejak arus transportasi roda empat telah menjangkau bibir pedalaman Danau Rana, yang sudah mulai dirasakan nilai ekonomi oleh masyarakat adalah damar.
Sebelum mulai dirasakan nilai ekonomisnya oleh warga seperti sekarang, dari sejak beberapa puluh tahun lampau tidaklah terasa kalau sudah sekian puluhan bahkan ratusan ribu pohon damar yang dirobohkan oleh sejumlah perusahan HPH yang pernah beroperasi di Pulau Buru.
Kemudian diambil kayu gelondongan agathisnya dan dikapalkan keluar dari Pulau Buru.
Walau sudah ribuan pohon yang tumbang, tidak ada aksi protes atau gejolak dari masyarakat adat di daerah itu, karena hanya sekelompok kecil masyarakat di pedalaman Pulau Buru yang mengerat getah damar disaat itu sebagai bahan penerangan di malam hari yang diletakan di luar rumah.
Belum ada yang memanfaatkan getah damar untuk mata pencaharian, karena kendala angkutan di saat itu.
Saat media ini menyambangi pedalaman Rana, Kepala Desa Lemanpoli, Kecamatan Fenalisela, Riyan Waemese, mengatakan, kini pohon damar adalah penghasil getah sejuta manfaat yang mampu memberi nilai ekonomi bagi warganya.
Sejak akses jalan terhubung sampai ke Lemanpoli, ada pengumpul (pedagang) yang berbondong-bondong datang membeli damar milik warga.
Pohon dengan nama ilmiah Agathis, yang sering disebut pohon damar, atau dalam bahasa Maori disebut kauri, adalah marga dari 21 spesies pohon yang selalu dilindungi sepanjang tahun dari famili konifer purba Araucariaceae, merupakan tumbuhan asli Indonesia.
Pohon damar (Agathis dammara) adalah pohon yang memiliki ciri khusus, yaitu berukuran besar dan tingginya bisa mencapai 65 meter. Batangnya silindris dan lurus dengan diameter mencapai 1,5 meter. Kulit batang berwarna abu-abu muda hingga coklat kemerahan.
Pohon yang banyak ditemui di pedalaman Buru ini biasa digunakan dalam berbagai kegunaan. Getahnya sendiri bisa digunakan sebagai bahan baku industri seperti, korek api, plastik, plester, vernis cat, hingga kosmetik kecantikan.
Hanya sejak beberapa puluh tahun lampau, masyarakat di sana belum terlalu tahu sisi ekonominya, sehingga ada yang membolehkan perusahan menebang dan mereka kebagian beberapa lembaran uang kertas.
Warga di saat itu hanya sebatas mengumpul getah damar untuk kebutuhan penerangan di luar rumah saat malam hari, atau ada tetangga di pesisir yang secara khusus memesannya.
Cerita soal hasil alam yang kini punya nilai ekonomis ini, membuat saya tidak pernah melek disaat berkendaraan menuju pedalaman.
Mulai dari kilometer pertama, sampai di jalan percabangan kilometer 25 , ke kanan menuju Waegrahe dan ke kiri menuju Lemanpoli, sejauh mata memandang, tidak terlihat satupun pohon Agathis dammara yang berdiri tegak menjulang tinggi ke angkasa.
Menurut cerita beberapa warga yang satu tumpangan mobil angkutan penumpang bersama kami, kalau dahulu di ketinggian di sana , konon banyak tumbuh Agathis dammara.
Namun seiring masuknya perusahan HPH, pohon Agathis ini ditebang dan diambil kayu gelondongannya.
Bahkan dalam perjalanan ini kami juga menyaksikan tumpukan kayu gelondongan di pinggir jalan. Ada yang berciri khas pohon Agathis dammara.
Lantas, sudah habiskan Agathis dammara? memasuki poros jalan tanah delapan kilometer untuk mencapai perkampungan penduduk Lemanpoli, saya masih menyaksikan di kejauhan sana ada pohon tegak lurus berkulit abu-abu banyak tumbuh menjulang tinggi ke udara.
Dalam perjalanan, Ibu
Wendy Ramonialiligoly bercerita, kalau pohon Agathis Dammara banyak tumbuh subur di pegunungan yang mengelilingi Lemanpoli.
Belum ada perusahan yang merambah ke sana dan merobohkannya, karena pohon yang menghasilkan getah damar itu berada di kawasan hutan yang dilindungi.
“Karena ada di hutan lindung, nilai ekonomis hasil alam dari damar ini mulai dinikmati warga,”cerita Ibu Wendy.
Karena hasil ekonominya mulai terasa, kata Kades Lemanpoli, warganya juga mulai giat mengumpul getah damar.
Selama kulit pohon damar dikerat/dilukai agar keluar getah yang bagus dari pohon, warganya harus bergelut bolak balik masuk hutan selama satu sampai dua bulan.
Hasil yang didapat juga lumayan banyak.
Yang paling rajin, bahkan mampu membawa pulang damar ke perkampungan sampai satu ton.
Harumnya Nona Damar dari Lemanpoli ini juga tercium sampai ke pesisir dan perkotaan. Kini sudah banyak yang datang meminang Damar dari Lemanpoli.
Hanya saja, kata Riyan, para pedagang yang datang langsung membeli selalu permainan harga.
Harga jual tertinggi yang baru dinikmati warganya dari damar Rp.7000 per kg “Perlu campur tangan pemerintah mengontrol harga agar masyarakat kami jangan terlalu banyak dirugikan,”harap Riyan.
Selain damar dari hasil hutan alam, di kawasan hutan yang mengelilingi Lemanpoli juga ada tanaman rambah pohon rotan, di dahan pohon yang tinggi kita juga bisa saksikan tanaman anggrek hutan dengan corak bunga berbagai jenis.
Ada yg ungu, putih, putih kekuning-kuningan dan lain sebagainya.
Namun tanaman anggrek liar ini belum dijadikan nilai ekonomis oleh warga setempat. Selain belum ada peminat yang datang membeli, tanaman anggrek ini juga tumbuh jauh di atas pohon yang sulit dipanjat.
Dari hasil perkebunan, yang paling bernilai ekonomi tinggi di Lemanpoli baru buah coklat. Mereka tidak perlu jauh-jauh datang ke pesisir untuk menjual, karena sudah ada yang datang membeli di sana.
Saat kami tiba di Lemanpoli di siang hari, di jalan lingkungan depan rumah warga banyak dihampar buah coklat yang dikeringkan memanfaatkan terik panas sinar matahari.
Di sore hari, sudah ada yang datang dengan mobil membeli langsung dari tangan petani.
Coklat diisi di dalam karung ukuran 50 kg lalu ditimbang . Para pedagang pengumpul ini berani patok harga tinggi Rp. 95.000 per kg.
Selain coklat, Lemanpoli juga punya dua primadona hasil kebun, durian dan Langsat. “Hanya baru selesai musim , jadi saat bapak di sini kita seng bisa suguhi,”ujar Ibu Wendy, istri pak kades Riyan.
Durian Lemanpoli juga tekenal gurih dan lezat. Apalagi buah langsatnya yang terkenal sangat manis.
Saat dijual oleh pedagang di kota Namlea, banyak yang menyangka kalau buah Langsat manis itu dari Liliboy. Namun ternyata itu Langsat dari Lemanpoli.
“Langsatnya sudah benar-benar tua baru kami panen dan dijual. Di pasar Wamlana 5000 per kg, kalau sudah di Namlea dijual 10.000 per kg,”tutur Ibu Wendy. (LM-04)
Discussion about this post