Jakarta,- 19 Agustus 2025, bertepatan dengan perayaan Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80, Ketua Departemen Organisasi Pengurus Pusat Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (PP KMHDI), I Dewa Gede Ginada Darma Putra, menyampaikan pandangan kritis terhadap implementasi Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Program MBG yang secara resmi diluncurkan pada 6 Januari 2025 telah menyentuh angka 20 juta penerima manfaat hingga Agustus, menurut data Badan Gizi Nasional (BGN).
Jumlah ini didukung oleh percepatan pembangunan 5.800 unit Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dan proses persiapan operasional 17.000 calon mitra. Meski secara kuantitatif menunjukkan kemajuan, PP KMHDI menilai program ini menyimpan banyak catatan serius yang mengkhawatirkan.
Hingga pertengahan 2025, setidaknya 1.376 siswa sekolah di berbagai wilayah menjadi korban dugaan keracunan makanan MBG, dengan gejala mulai dari mual, muntah, hingga sesak napas. Kasus-kasus tersebut tersebar di 13 wilayah, termasuk Bandung, Tasikmalaya, Sumatera Selatan, Sukoharjo, hingga Nusa Tenggara Barat.
Insiden mulai terjadi sejak uji coba MBG pada Oktober 2024 di Nganjuk, dan terus berlanjut setelah peluncuran resmi pada Januari 2025. Kasus keracunan paling serius tercatat pada akhir April hingga Mei 2025, di mana beberapa daerah bahkan mencatat ratusan siswa mengalami gejala serupa secara massal.
Insiden keracunan terjadi di berbagai wilayah perkotaan maupun 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar). Temuan menunjukkan masalah terjadi di rantai produksi dan distribusi, termasuk pada dapur SPPG yang belum memenuhi standar higienitas, sanitasi, serta pengolahan dan penyimpanan makanan. Bakteri berbahaya seperti E.coli, Bacillus cereus, dan Candida tropicalis ditemukan dalam sampel makanan dari sejumlah dapur.
Menurut Ginada, program MBG memiliki visi strategis untuk menurunkan stunting dan meningkatkan kualitas pendidikan. Namun, realisasi di lapangan menunjukkan bahwa program ini masih jauh dari matang secara teknis dan manajerial.
“Kami tidak menolak semangat dari program ini, tetapi keberhasilan tidak bisa diukur hanya dari angka penerima manfaat. Keselamatan anak-anak jauh lebih penting dari sekadar capaian kuantitatif,” ujar Ginada.
PP KMHDI menyoroti lemahnya pengawasan, minimnya uji kelayakan mitra penyedia, serta kurangnya kesiapan infrastruktur pendukung di banyak daerah. Penanganan insiden juga dianggap belum transparan dan akuntabel, termasuk soal pertanggungjawaban negara terhadap korban dan keluarganya.
PP KMHDI mendorong Presiden Prabowo untuk segera:
1.Menghentikan sementara pelaksanaan MBG di wilayah yang memiliki catatan buruk hingga proses evaluasi selesai.
2.Melakukan audit independen terhadap dapur dan mitra MBG, dengan melibatkan pakar gizi, BPOM, Dinas Kesehatan, dan masyarakat sipil.
3.Menyusun ulang SOP dan pedoman operasional berbasis pendekatan ilmiah dan risiko lokal.
4.Mengevaluasi sistem verifikasi dan pengadaan, termasuk distribusi dan penyimpanan bahan pangan.
5.Menjamin hak korban, baik dalam bentuk pengobatan gratis maupun kompensasi nyata bagi yang terdampak.
6.Copot Kepala Badan Gizi Nasional, Karena lalai dalam pengawasan yang menyebabkan program yang harusnya menjadi program unggulan Prabowo-gibran seperti menjadi tak terarah.
Ginada menegaskan, pelaksanaan program berskala nasional seperti MBG haruslah mengutamakan keselamatan dan keberlanjutan manfaat, bukan hanya mengejar popularitas atau pencitraan politik.
“Negara wajib hadir melindungi anak-anak. Bila 1.376 anak menjadi korban dalam hitungan bulan, itu bukan lagi alarm, tapi tanda bahaya serius yang tak boleh diabaikan,” tegasnya.
PP KMHDI siap menjadi mitra kritis pemerintah dalam memastikan bahwa program ini benar-benar dijalankan dengan standar mutu, moralitas, dan tanggung jawab. Dalam semangat kemerdekaan, seluruh rakyat berhak memperoleh perlindungan dari kebijakan yang seharusnya mendukung, bukan membahayakan.(LM-10)
Discussion about this post