Lensa Maluku, – Delapan dekade Indonesia merdeka, namun tidak semua daerah menikmati hasil kemerdekaan secara adil dan merata. Di wilayah timur nusantara, suara dari tanah Maluku terus menggema: suara pemekaran, suara pemerataan pembangunan, suara yang datang dari 13 calon daerah otonomi baru (CDOB) yang hingga kini masih menunggu lampu hijau dari pemerintah pusat.
Di balik suara-suara itu berdiri Forum Koordinasi Daerah Percepatan Pemekaran Provinsi Maluku (Forkoda Maluku), yang dipimpin oleh tokoh akademisi dan aktivis pemekaran kawakan, Dr. Djunaidi Rupele, SE, M.Si. Di bawah kepemimpinannya, Forkoda bukan sekadar forum diskusi, melainkan motor perjuangan yang bergerak aktif ke pusat kekuasaan, menjalin komunikasi dengan kementerian dan lembaga terkait, memperkuat legitimasi di daerah, dan terus menyatukan langkah 13 CDOB yang tersebar dari Seram, Buru, Lease, hingga kepulauan Aru.
Ke-13 tokoh pejuang pemekaran yang berasal dari masing-masing CDOB telah menempuh perjalanan panjang. Mereka datang dari latar belakang yang beragam—tokoh adat, birokrat, tokoh, pemuda, bahkan mantan pejabat daerah—namun memiliki satu suara: membuka pintu pemerataan di Maluku yang selama ini dinilai terlalu tersentralisasi.
Dalam momentum HUT ke-80 Republik Indonesia tahun ini, harapan itu kembali menguat. Rakyat di daerah-daerah yang terisolir menanti dengan penuh doa dan semangat: Kapita negeri dan rakyat dusun di gunung maupun di pesisir semua ingin perubahan nyata.
Tahun ini pula, perjuangan Forkoda mendapat suntikan moral yang sangat berarti dengan hadirnya dua tokoh asal Maluku:
-Senator DPD RI Bisri Latuconsina, yang telah menyuarakan aspirasi pemekaran Maluku dalam berbagai forum di Senayan. Dikenal vokal dan konsisten, Bisri tidak hanya mengawal dari sisi legislasi, tapi juga memberi tekanan moral kepada pusat agar Maluku tidak terus dianaktirikan.
-Asmin Matdoan, tokoh senior Maluku yang turut hadir menguatkan gerakan ini. Sosok Matdoan yang punya jejaring kuat di Jakarta dan pengalaman panjang di organisasi menjadi jembatan penting antara Forkoda dan para pengambil kebijakan di ibu kota.
Kehadiran dua figur ini menjadi penyemangat tersendiri bagi Forkoda dan 13 tokoh pejuang daerah. Karena perjuangan pemekaran bukan semata demi politik identitas atau jabatan, melainkan untuk membawa layanan dasar lebih dekat ke rakyat, memperpendek rentang kendali pemerintahan, dan membuka peluang pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan yang lebih merata.
Wajah-wajah masyarakat di pedalaman Maluku kini menatap ke depan dengan harapan baru. Bahwa di usia 80 tahun Indonesia merdeka, suara mereka tak lagi hanya gema di pegunungan dan ombak di kepulauan, melainkan menjadi bagian dari keputusan politik nasional yang adil dan bijak.
Merdeka bukan hanya soal bebas dari penjajahan, tetapi juga bebas dari ketimpangan dan keterbelakangan. Maluku menunggu keadilan itu.(LM-04)
Discussion about this post