Lensa Maluku,- Bupati Buru Selatan, Safitri Malik Soulisa, yang juga bupati perempuan pertama di bumi raja-raja Maluku, tampil sebagai pemateri dalam Forum Training Raya Latihan Khusus Kekohatian (LKK) Tingkat Nasional
HMI Cabang Ambon, Minggu (19/03/2023), di Balai Diklat Pertanian Provinsi Maluku.
Membawa materi, bias gender Dalam pengambilan kebijakan politik di Parlemen, Safitri katakan, keterlibatan perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tentunya sangat penting. Perempuan dalam menjalankan takdirnya, tidak hanya menjadi ibu serta isteri semata, melainkan sebagai seorang yang menyiapkan moral, etika, dan pendidikan bagi anak-anaknya, menuju satu masa depan atau yang kita kenal sebagai jaman keemasan mereka.
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women atau CEDAW) di Meksiko pada 1979 dalam meratifikasi aturan domestic negara-negara yang memposisikan perempuan sebagai sub-ordinat.
“CEDAW menjadi dasar perjuangan perempuan dalam mendapatkan hak-hak dalam semua aspek, terutama kebijakan pemerintah yang memberikan dampak terhadap eksistensi dan kesinambungan peran perempuan dalam ruang publik,”terangnya.
Menurutnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pasca CEDAW merekomendasikan agar semua pemerintahan di dunia agar memberlakukan kuota sebagai langkah khusus yang bersifat sementara untuk meningkatkan jumlah perempuan di dalam jabatan-jabatan appointif (berdasarkanpenunjukan/pengangkatan) maupun elektif (berdasarkan hasil pemilihan) pada tingkat pemerintahan lokal dan nasional.
“Jika di flashback, catatan perjuangan perempuan di gelanggang politik pra-kemerdekaan, kebangkitan nasional muapun pasca kemerdekaan tak bisa dideskripsikan. Beberapa nama yang popular dalam perjuangan politik dan keterlibatan di Indonesia seperti Laksamana Malahayati di Aceh, Cut Nyak Dien, Cristina Marta Tjiahahu, sampai ke Kartini menjadi refrensi juang perempuan Indonesia. Sumbangsih mereka-mereka dalam perjuangan cukup besar untuk kemerdekaan dan kemajuan bangsa ini,”ucapnya.
Dikatakannya, apa yang diperjuangkan untuk bangsa tak sebetas dikenang, melainkan terus menjadi bara api perjuangan eksistensialis perempuan dalam melawan prakit patriakri yang membunuh kebebasan ekspresi perempuan saat ini.
Terkait demokrasi dan pengarusutamaan peran perempuan, Safitri ingatkan,
sejak dulu, perempuan memiliki tempat paling istimewa ditengah masyarakat. Perempuan tidak hanya menjadi objek komersil yang berhubungan dengan kehidupan rumah tangga, melainkan keberdaan perempuan sangat mempengaruhi wajah pemerintah.
“Tidak ada laki-laki yang bisa menentukan atau mengambil keputusan tanpa masukan dari perempuan. Itulah mengapa ada istilah ‘Dibalik Lelaki Sukses ada Peremuan Hebat’,”ucapnya.
Indonesia, menurutnya, pasca reformasi 1998 telah memasuki agenda baru dalam membuka kran kebebasan berekspresi yang selama 32 tahun tertutup rapat. Kejatuhan rezim Orde Baru dengan system pemerintahan demokrasi keterwakilan dan digantikan dengan demokrasi partisipatoris hari ini, memposisikan perempuan secara leluasan untuk memenuhi kuota kebijakan khusus 30% untuk berada bersama laki-laki dalam poros pengambilan kebijakan untuk kepentingan umum.
“Namun, apakah kuota 30% adalah hal yang cukup untuk mewakili perempuan dalam menyelesaikan berbagai kebijakan dan perlakukan diskriminatif? Ataukah harus ada kaukus sebagai kamar khusus untuk mengadvokasi dan mengagregasi berbai kebutuhan perempuan di Indonesia,”tanyanya.
Dikatakannya, diskriminasi berdasarkan gender masih terjadi pada seluruh aspek kehidupan, dan semua sektor pembangunan di seluruh negeri. Ini adalah fakta yang tidak dapat dipungkiri, meskipun ada kemajuan yang cukup pesat dalam kesetaraan gender dewasa ini.
Bahkan sifat dan tingkat diskriminasi sangat bervariasi di berbagai negara atau wilayah. Tidak ada satu wilayah pun di negara berkembang, termasuk Indonesia, dimana perempuan telah menikmati kesetaraan dalam hak-hak hukum, sosial dan ekonomi secara utuh. Kesenjangan gender dalam kesempatan dan kendali atas sumber daya, ekonomi, kekuasaan, dan partisipasi politik dan pengambilan keputusan terjadi di mana-mana.
Dalam perspektif ini, dia jelaskan, perempuan masih menjadi objek pembangunan belum menyasar sebagai pelaku pembangunan. Salah satu faktor yang menyebabkan lingkaran ketidakadilan gender ini berada pada tataran kebijakan yang masih bias gender.
“Setiap waktu, ruang public disesaki dengan isu kesetaraan gender di seluruh dunia. Masalah ini, masih menjadi wacana perjuangan, belum memperoleh satu kepastian atau regulasi Internasional yang benar-benar mengarus-utamakan perempuan dalam peran pembangunan dan political will,”terangnya.
Dengan kesempatan berdemokrasi ini, Safitri ungkapkan, perempuan harus lebih aktif terlibat dalam agenda-agenda publik. Sehingga stigma perempuan sebagi seccond of man benar-benar dipatahkan.
“Perempuan tidak harus mengurus kecantikan saja, tetapi kecerdasan perempuan adalah kata kunci. Karena pada keterlibatan dan peranan pengambilan kebijakan di ranah public, membutuhkan keterampilan khusus seperti kemampuan komunikasi, kecerdasan IQ, ketenangan dan kemampuan membaca implikasi pasca kebijakan,”cetusnya.
Terkait perempuan dalam cengkeraman kebudayaan,
Bupati katakan, budaya masyarakat dunia secara Struktural lebih dominan memposisikan laki-laki unggul dibadingkan perempuan. Patriarki sebagai satu pemahaman kebudayaan, dimana menitik beratkan peran perempuan dan laki-laki berbasis stukturl bukan kemampuan personal. Dengan demikian, perempuan dalam sendi kebudayaan, belum memiliki peran urgen dalam kemajuan dan perubahan masyarakat.
“Dalam perkembangan zaman, sudah banyak perempuan yang berpendidikan tinggi dan bekerja. Tapi kemajuan tersebut tidak terhindar dari adanya budaya patriarki yang menyebabkan kesenjangan dan ketidaksetaraan gender. Padahal setiap perempuan berhak untuk mendapatkan kesempatan dan hak yang sama dengan laki-laki. Namun mengakarnya budaya patriarki menjadi penghalang dalam mewujudkan kesetaraan gender dalam masyarakat,”bebernya.
Budaya patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan lebih dominan. Dominasi ini meliputi peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hal sosial dan penguasaan properti. Sistem patriarki yg melekat di kebudayaan, mendorong terjadinya kesenjangan dan ketidakadilan gender. Laki-laki memiliki kontrol yang lebih besar dalam masyarakat terutama dalam keluarganya. Sedangkan perempuan memiliki pengaruh yang sangat kecil dan memiliki suara yang lemah.
Safitri ingatkan, peranan perempuan yang terbatas, disebabkan oleh berbagai nilai dan norma masyarakat yang membatasi ruang gerak perempuan dibandingkan dengan ruang gerak laki-laki.
“Secara tegas, ingin dijelaskan bahwa, gender tidak dalam persketif fisologis atau biologis tetapi dalam kesemapatan ini dijelaskan bahwa gender dalam konstruksi social atas peran, perilaku aktivitas, serta atribut yang dibutuhkan masyarakat dan dianggap tepat untuk jenis kelamin tertentu,”pungkasnya.
Perempuan juga dikelilingi dengan seperangkat aturan dan tuntutan yang membatasi ruang gerak mereka.
“Contohnya, perempuan dituntut untuk mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga. Budaya patriarki menempatkan perempuan sebagai “manusia kelas dua” yang eksistensi nya kurang diperhitungkan. Perempuan dikungkung oleh tekanan budaya patriarki dalam banyak aspek. Bukan hanya memunculkan tekanan, kebudayaan patriarki mendorong terjadinya perbuatan yang tidak menyenangkan seperti kekerasan seksual, pelecehan dan juga diskriminasi terhadap perempuan,”katanya.
Oleh karena itu, Saitri tegaskan, sudah sepatutnya budaya patriarki yang bersifat “menekan” kaum perempuan tidak dinormalisasikan. Perempuan dalam hal ini tidak perlu dilindungi karena dengan adanya tindakan perlindungan dapat memunculkan kontseks yang justru membenarkan bahwa wanita adalah kaum yang lemah. Maka cara yang paling tepat untuk dilakukan adalah berperan aktif dalam edukasi terkait isu kesetaraan gender dan bagaimana upaya penegakannya, memberikan ruang bagi perempuan agar dapat berkontribusi aktif dalam berbagai bidang dan memiliki profesi yang beragam.
“Perempuan juga berhak dianggap sebagai kompetitor yang tangguh bagi laki-laki. Perempuan juga bukan hanya sebagai support system dibelakang laki-laki, tetapi perempuan juga dapat dijadikan sebagai partner yang solid dan dapat diajak bekerja sama,”tutupnya.(LM-05)
Discussion about this post