Lensa Maluku, — Proses Musyawarah Wilayah (Musywil) ke-8 Pemuda Muhammadiyah Maluku menuai sorotan tajam. Badan Pengurus Harian (BPH) melalui Lutfi Wael menyampaikan kritik keras atas pelaksanaan Musywil yang dinilai cacat prosedur dan melanggar Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) organisasi.
Tokoh muda asal Kabupaten Seram Bagian Barat itu menegaskan bahwa pelaksanaan Musywil tidak hanya melenceng dari semangat demokrasi internal, namun juga mencederai prinsip-prinsip dasar organisasi. Ia menilai panitia Musywil dan Panitia Pemilihan (Panlih) menunjukkan “daya rusak” secara terang-terangan.
“Pasca seremoni pembukaan yang berlangsung meriah di Gedung Ashari Alfatah dan dihadiri Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Fajar Riza Ul Haq, proses persidangan justru molor hingga lewat tengah malam tanpa kejelasan jadwal,” kata Lutfi, Minggu (14/7).
Ia mengungkapkan bahwa agenda utama Musywil, yaitu persidangan, berlangsung secara tertutup dan tidak diinformasikan kepada peserta secara resmi. Bahkan, ia menyebut sebagian ruangan di lokasi Grand Avira diisi oleh pelajar setingkat mahasiswa tanpa kehadiran spanduk atau penanda acara lanjutan.
“Tidak ada pemberitahuan, tidak terjadwal, bahkan saat ditanya di grup WhatsApp BPH pun tak direspons. Delegasi dari sembilan kabupaten/kota tidak diberitahu. Seolah-olah ini urusan rumah tangga kecil yang tak perlu diketahui orang lain. Nauzubillah,” tegasnya.
Lebih jauh, Lutfi menyoroti proses sidang yang dianggap formalitas belaka. Ia menyebut hanya satu orang, yakni Ketua Panlih, yang memimpin sidang—membuka, membacakan nama-nama formatur, menetapkan ketua formatur, lalu langsung menutupnya.
“Ini sungguh pembodohan. Padahal yang hadir saat pembukaan adalah Wakil Menteri dan Forkopimda. Namun sidang utama dilaksanakan diam-diam, hanya dalam waktu kurang dari 30 menit, tanpa keterlibatan peserta dan tanpa mekanisme formal seperti steering committee,” lanjutnya.
Mengacu pada Pasal 20 ART Pemuda Muhammadiyah hasil Muktamar ke-XVIII tahun 2023, Lutfi mengingatkan bahwa Musywil adalah forum permusyawaratan tertinggi di tingkat wilayah yang seharusnya dijalankan secara demokratis, transparan, dan partisipatif. Dalam ART disebutkan bahwa Musywil harus melalui tujuh tahapan penting, antara lain:
1. Registrasi peserta dan penetapan kuorum,
2. Pembentukan dan pengesahan tata tertib,
3. Pembentukan komisi,
4. Sidang-sidang komisi,
5. Laporan pertanggungjawaban pengurus,
6. Pemilihan formatur,
7. Penetapan ketua dan rekomendasi organisasi.
“Namun, sebagian besar tahapan ini tidak dilaksanakan dalam Musywil ke-8,” ungkap Lutfi.
Ia pun menilai bahwa mengundang perwakilan sembilan kabupaten/kota serta pejabat negara seperti Wamendikdasmen, menjadi tidak relevan jika forum Musywil hanya menjadi ajang pertunjukan ambisi segelintir orang.
“Jika Musywil dijalankan seperti ini, maka tidak hanya merusak semangat kaderisasi, tetapi juga mencoreng nama baik Pemuda Muhammadiyah di mata publik,” ujarnya.
Atas situasi ini, Lutfi mendesak Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah dan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah untuk segera turun tangan mengevaluasi pelaksanaan Musywil tersebut.
“Musywil ini harus segera dievaluasi secara menyeluruh. Jika perlu, dibatalkan atau dianggap tidak pernah ada, demi menjaga marwah dan integritas organisasi. Jangan sampai Pemuda Muhammadiyah kehilangan jati dirinya sebagai organisasi kader yang menjunjung tinggi prinsip musyawarah,” pungkasnya.(LM-04)
Discussion about this post