Lensa Maluku, – Di balik debur ombak Teluk Kaiely dan bisik angin yang menelusup ke lereng-lereng rimbun Batabual, tersimpan sebuah harapan yang tak pernah padam: harapan untuk berdiri sendiri, untuk mengatur rumah tangga pemerintahan sendiri, dan untuk membuka lembaran baru sebagai daerah otonom bernama– Kabupaten Buru Kaiely–.
Harapan ini bukanlah mimpi sesaat. Ia telah tumbuh dan diperjuangkan sejak tahun 2015. Dari forum kecil di balai dusun, hingga ke meja perencanaan para pemimpin daerah dan tokoh politik. Tapi seperti sebuah biduk kecil di samudra luas, suara-suara dari Batabual, Kaiely, dan dataran Waiapo kerap teredam dalam gelombang birokrasi pusat. Moratorium pemekaran yang ditetapkan pemerintah pusat menjadi dinding penghalang yang membungkam banyak aspirasi daerah, termasuk Buru Kaiely.
Namun, waktu terus berjalan. Jumlah penduduk terus bertambah. Kebutuhan pelayanan publik semakin kompleks. Jarak dari pusat pemerintahan Namlea ke wilayah-wilayah seperti Batabual, dan Kaiely menjadi tantangan tersendiri. Pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan akses ekonomi seakan berjalan terseok.
Maka suara pemekaran bukanlah sekadar keinginan elit. Ia adalah seruan tulus dari rakyat yang ingin lebih dekat dengan pemerintah. Seruan dari nelayan yang ingin pelabuhan lebih aktif, dari petani yang ingin jalan tani dibuka, dari anak sekolah yang ingin gedung sekolahnya tak perlu ditumpangi dua shift karena kekurangan ruang.
PEMEKARAN ADALAH JEMBATAN KEADILAN PEMBANGUNAN
Pemerintah pusat telah membuka kembali keran moratorium dengan pendekatan keadilan dan pertimbangan objektif. Daerah-daerah seperti Buru Kaiely harus diberi ruang untuk tumbuh dan berkontribusi lebih besar dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Setetes harapan ini bukan untuk memisah, melainkan untuk memperkuat. Karena ketika Buru Kaiely berdiri, ia tak akan berjalan sendiri. Ia adalah bagian dari Indonesia, bagian dari Maluku, dan bagian dari semangat pembangunan yang merata dan berkelanjutan. (LM 04)
Discussion about this post