Jakarta– Ketua Badan Pembinaan Organisasi dan Keanggotaan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Osco Olfriady Letunggamu, menilai angka kerugian negara sebesar Rp300 triliun akibat aktivitas tambang ilegal yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto merupakan estimasi yang realistis.
Ia menyebut, angka tersebut mencerminkan besarnya kebocoran penerimaan negara dan kerusakan lingkungan yang terjadi akibat lemahnya pengawasan dan tumpang tindih sistem perizinan di sektor pertambangan nasional.
“Kalau kita hitung, dari sisi penjualan dan pajak yang hilang, kerugiannya mencapai sekitar Rp271 triliun. Ditambah lagi pajak, PNBP, royalti, hingga PPh badan yang tidak dibayar mencapai Rp35–40 triliun. Belum termasuk biaya pemulihan lingkungan yang bisa mencapai Rp25 triliun. Jadi angka Rp300 triliun itu memang sangat masuk akal,” kata Osco kepada wartawan, Sabtu (11/10).
Menurut Osco, praktik tambang ilegal tidak hanya menimbulkan kerugian negara, tetapi juga menciptakan distorsi sistemik dalam industri pertambangan.
Perusahaan legal yang taat pajak, membayar royalti, dan menanggung biaya Jaminan reklamasi justru kalah bersaing dengan pelaku ilegal yang beroperasi tanpa beban kewajiban.
“Ini bukan sekadar unfair competition, tapi sudah systemic distortion. Banyak anggota kami yang akhirnya menunda ekspansi, menahan investasi, bahkan mengurangi tenaga kerja karena pasar dibanjiri hasil tambang ilegal,” ujarnya.
Ia menjelaskan, aktivitas tambang ilegal memperbesar pasokan “bayangan” di pasar, yang menyebabkan harga jual mineral jatuh di bawah harga patokan pemerintah.
Kondisi ini, kata Osco, menurunkan kepercayaan investor terhadap pelaku tambang legal dan menciptakan persepsi keliru bahwa semua pemain di industri ini sama saja.
Osco menilai persoalan tambang ilegal tak bisa dipandang semata sebagai kejahatan ekonomi, melainkan persoalan struktural akibat sistem perizinan dan pengawasan yang belum sinkron.
Ia menyoroti proses rekomendasi Rencana kerja dan anggaran Biaya (RKAB) tahunan yang lamban dan tumpang tindih antar lembaga, sehingga pelaku legal justru terhambat, sementara penambang tanpa izin bebas beroperasi.
“Perizinan lintas kementerian dan kewenangan pusat-daerah masih terlalu rumit. Banyak izin yang tumpang tindih, data yang belum terintegrasi, dan koordinasi pengawasan yang tidak satu sistem. Akibatnya, pelaku yang patuh justru terhambat, sedangkan yang ilegal leluasa,” katanya.
Untuk memperbaiki situasi ini, APNI mendorong pemerintah membentuk satuan tugas lintas lembaga yang melibatkan kepolisian, kementerian ESDM, pemerintah daerah, dan asosiasi pelaku tambang sebagai mitra verifikasi lapangan.
“Kami ingin penegakan hukum yang tepat sasaran. Yang ilegal ditindak, yang legal jangan ikut dipukul rata,” tegas Osco.
Ia juga mengusulkan agar sistem perizinan tambang diperbarui melalui tiga langkah strategis: penegakan hukum menyeluruh, reformasi izin pertambangan, dan digitalisasi sistem tata kelola minerba.
Digitalisasi, menurutnya, menjadi kunci untuk menutup ruang manipulasi dan memperkuat transparansi dari hulu ke hilir.
“Semua data produksi, pengangkutan, penjualan, hingga pembayaran pajak harus terintegrasi secara digital dan real time. Dengan begitu, asal-usul bijih bisa ditelusuri dari mulut tambang sampai ke smelter, tanpa lagi ada dokumen siluman atau tambang hantu,” ujar Osco.
Ia menambahkan, praktik tambang ilegal yang bernilai besar kerap melibatkan jaringan kuat dan oknum di berbagai tingkatan, baik aparat maupun pejabat daerah.
Namun, Osco menilai kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto membawa momentum baru bagi penertiban sektor ini.
“Presiden sudah menunjukkan tone from the top yang tegas. Ketika kepala negara turun langsung ke Bangka Belitung dan menyoroti kerugian Rp300 triliun itu, itu sinyal kuat bahwa penertiban tambang ilegal bukan lagi wacana, tapi prioritas nasional,” ucapnya.
Sebagai organisasi, APNI menegaskan komitmennya untuk membangun industri nikel Indonesia yang sehat, kompetitif, dan berintegritas.
Osco menyebut, pihaknya tengah menyiapkan inisiatif Indonesia Metal Action, wadah kolaboratif untuk mendorong transparansi harga mineral dan tata kelola industri yang lebih adil.
“Kami percaya solusi bukan dengan memperbanyak aturan, tapi dengan membangun sistem yang jelas, transparan, dan berkeadilan. Kalau regulasinya pasti dan harga terbentuk secara fair, tak ada alasan lagi bagi pelaku usaha untuk masuk ke jalur ilegal,” pungkas Osco.(LM-06)
Discussion about this post