Lensa Maluku, – Keresahan masyarakat Desa Siwatlahin, Kecamatan Fena Fafan, Kabupaten Buru Selatan, kini kembali mencuat ke permukaan.
Sorotan tajam datang dari kalangan mahasiswa melalui suara lantang Hendro Hukunala, aktivis asal desa setempat yang menuntut pemerintah daerah segera mengevaluasi dan mencopot Penjabat (PJ) Kepala Desa Siwatlahin, Isak Liligoly.
Desakan ini bukan tanpa alasan. Di tengah harapan besar terhadap dana desa yang seharusnya menjadi motor pembangunan dan pemberdayaan masyarakat, warga justru dihadapkan pada stagnasi kebijakan, lemahnya transparansi, serta absennya akuntabilitas.
Pencairan dana berjalan, namun hasil nyata di lapangan nyaris tak terlihat.
Dalam konteks ini, kegagalan PJ Desa bukan hanya masalah kinerja individu, melainkan juga cermin lemahnya pengawasan dari pemerintah kabupaten.
Padahal, berdasarkan Pasal 46 ayat (2) Permendagri Nomor 82 Tahun 2015, penunjukan Penjabat Kepala Desa adalah kewenangan Bupati yang seharusnya digunakan untuk menjaga keberlangsungan pemerintahan desa yang transparan, akuntabel, dan berpihak pada rakyat.
Ketika pejabat yang ditunjuk justru tidak mampu menjalankan amanah tersebut, maka kewenangan itu harus dievaluasi bukan dibiarkan.
Aktivis Hendro Hukunala menilai, berbagai pelanggaran asas pemerintahan yang baik telah terjadi.
Pemerintahan desa seolah berjalan tanpa arah, mengabaikan prinsip keterbukaan, efektivitas, dan kemanfaatan publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Lebih dari sekadar kritik, Hendro mengajukan lima tuntutan konkret:
1. Pencopotan segera Isak Liligoly sebagai PJ Kepala Desa Siwatlahin;
2. Audit transparansi terhadap penggunaan Dana Desa Tahun Anggaran 2025;
3. Pembentukan tim investigasi independen untuk menelusuri dugaan pelanggaran administratif dan penyimpangan anggaran;
4. Penunjukan pejabat pengganti yang berintegritas dan profesional;
5. Penindakan hukum terhadap pihak mana pun yang terlibat melindungi penyimpangan.
Tuntutan ini mencerminkan keprihatinan sekaligus semangat moral mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of change) dan agen kontrol sosial (social control).
Mereka tidak sekadar berbicara atas nama gerakan, tetapi atas nama rakyat yang merasa dikhianati oleh aparatur pemerintahan desa dan sikap diam pemerintah daerah.
Sikap pasif pemerintah kabupaten dalam menyikapi persoalan ini justru menimbulkan pertanyaan serius: apakah keberpihakan mereka masih pada rakyat kecil, atau telah bergeser demi kepentingan politik sempit?
Jika pemerintah memilih diam, maka mereka turut mempertahankan praktik penyimpangan yang merusak kepercayaan publik.
Kini, bola berada di tangan Bupati dan Wakil Bupati Buru Selatan. Keberanian mereka untuk mengambil langkah tegas akan menjadi ukuran sejauh mana komitmen pemerintahan daerah terhadap prinsip transparansi dan keadilan.
Mencopot PJ Desa Siwatlahin bukan sekadar memenuhi desakan mahasiswa, melainkan tindakan moral dan hukum untuk memulihkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan desa.
Pemerintah tidak boleh menutup mata terhadap suara rakyat yang menuntut perubahan. Sebab, keberpihakan sejati hanya dapat dibuktikan dengan tindakan nyata—bukan diam yang memelihara ketidakadilan.(LM-04)








Discussion about this post