Lensa Maluku, – Masuknya bahan berbahaya dan beracun (B3) ke wilayah-wilayah rawan seperti kawasan tambang Gunung Botak merupakan ancaman nyata bagi keselamatan lingkungan, kesehatan masyarakat, dan masa depan generasi mendatang.
Di tengah kewajiban konstitusional Polri sebagai instrumen kontrol sosial formal, publik kini dipaksa untuk mempertanyakan sejauh mana fungsi pengawasan itu benar-benar dijalankan secara maksimal dan bebas dari kompromi.
Kenyataan pahit di lapangan menunjukkan masih terbukanya celah distribusi B3, terutama melalui jalur laut dan pelabuhan yang selama ini menjadi titik masuk strategis. Di sinilah muncul paradoks yang menyakitkan: hukum yang seharusnya menjadi penjaga keadilan justru kerap dikompromikan demi kepentingan ekonomi ilegal. Ini bukan hanya soal kelalaian, tetapi krisis legitimasi institusi negara.
Dalam konteks ini, langkah yang diambil Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Namlea patut diapresiasi sekaligus dijadikan preseden. Alih-alih berhenti pada kritik verbal, HMI mengambil langkah konkret untuk menjalankan fungsi kontrol sosial secara independen, terorganisir, dan berbasis data lapangan.
Rencana pendirian pos pemantauan di sekitar pelabuhan merupakan bentuk nyata dari perlawanan moral terhadap praktik penyelundupan dan distribusi ilegal B3. Kehadiran pos ini bukan sekadar simbol perlawanan, tetapi menjadi kanal partisipasi publik yang sangat dibutuhkan dalam situasi ketika pengawasan formal kehilangan taringnya.
Sikap HMI yang menempatkan diri sebagai pengawas kritis tidak boleh dipandang sebagai upaya konfrontatif, tetapi sebagai bagian dari ikhtiar kolektif untuk menyelamatkan ruang hidup masyarakat. Inilah bentuk kontrol sosial yang sah dan dijamin dalam kerangka demokrasi. Mahasiswa tidak sedang mencari panggung, tetapi sedang mengisi kekosongan moral yang ditinggalkan oleh lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan perlindungan rakyat.
Sudah saatnya pengawasan distribusi B3 tidak lagi menjadi domain eksklusif aparat, melainkan melibatkan partisipasi luas dari elemen masyarakat, khususnya mahasiswa. Karena ketika pengawasan menjadi urusan bersama, maka ruang bagi praktik ilegal akan semakin sempit.
Langkah HMI untuk membangun koordinasi lintas sektor—dengan pemerintah daerah, aparat penegak hukum, hingga masyarakat sipil—adalah pendekatan strategis yang menunjukkan kesadaran bahwa perubahan sistemik tidak bisa dibangun dengan langkah sporadis. Pengawasan harus terpadu, terstruktur, dan berdaya guna.
Diam di tengah kerusakan adalah bentuk pengkhianatan terhadap masa depan. Dan ketika negara gagal menjalankan tugasnya, maka mahasiswa, sebagai penjaga nurani rakyat, harus berani berdiri di garis depan. HMI Cabang Namlea telah mengambil sikap. Kini, giliran kita untuk mendukung dan memperluas gerakan ini menjadi arus utama kesadaran publik.(LM-04)
Discussion about this post