Ambontoday.Com – Safitri Malik Soulisa membuka kegiatan Sosialisasi Peraturan Perundingan yang berkaitan dengan Perikehidupan Penghayatan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berlangsung di Hotel Alfris Namrole, Selasa (7/12).
Sosialisasi tersebut dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi bekerja sama dengan Dinas Pariwisata Kabupaten Buru Selatan ini dihadiri oleh Asisten III Gani Loilatu, nara sumber dari Kementerian serta masyarakat tokoh adat.
“Kebhinekaan merupakan realitas bangsa yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya,” jelas Bupati Safitri Malik Soulisa dalam sambutannya yang dibacakan Gani Loilatu Staf Ahli.
Jelas Bupati, untuk mendorong terciptanya perdamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kebhinekaan pun harus di maknai oleh masyarakat melalui pemahaman multikulturalisme berlandaskan kekuatan spiritualitas.
Kata Bupati, Indonesia bangsa yang majemuk yang terdiri dari berbagai etnis, bahasa dan agama. Didalamnya sebut Bupati, terdapat komunitas adat/tradisi dan komunitas penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,” jelas Safitri Malik.
Komunitas itu memiliki hak untuk mengamalkan ajaran kepercayaan dan hak berbudaya bekerpercayaan secara bebas tanpa diskriminasi.
“Terdapat pula penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang ajarannya bersumber dari kearifan lokal,” ucap Safitri Malik.
Kepercayaan yang mengandung nilai-nilai luhur yang bersifat fundamental diharapkan bisa mewarnai keberagaman dan kebhinekaan bangsa ini. Sehingga lanjut Bupati, tercipta kehidupan yang harmonis berdasarkan pada nilai luhur.
“Negara berkewajiban untuk melindungi, memberdayakan, mengoptimalkan peran dan fungsi strategis mereka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujar Bupati.
Sosialisasi yang dilaksanakan ini, Bupati berharap bisa menjadi salah satu alternatif solusi permasalahan yang saat ini di hadapi.
Kata Bupati, yaitu permasalahan yang berkaitan dengan layanan administrasi kependudukan dalam kehidupan berkeyakinan dan berkepercayaan.
“Tetapi masih terjadi penafsiran yang berbeda dari aparat pemerintah, masyarakat maupun penghayat kepercayaan itu sendiri,” jelas Bupati.
Kata Bupati, sebenarnya hal itu tak perlu terjadi karena masyarakat penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah bagian dari masyarakat Indonesia yang memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti masyarakat lainnya.
“Mereka juga bagian dari komponen bangsa yang memiliki ciri karakteristik khas yang mencerminkan kebhinekaan tunggal Ika dan salah satu pilar budaya dan jati diri bangsa,” pungkas Safitri Malik.
Jelas Bupati, perbedaan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat akan menghadapi banyak tantangan berakibat yang menjurus terjadinya konflik sosial baik vertikal maupun horizontal.
“Hal ini akan terjadi apabila kita abai terhadap nilai luhur jati diri bangsa yang berkeinginan untuk hidup bersama, saling mengayomi dan harmonis,” jelasnya.
“Konflik sosial, intoleransi, anti kebhinekaan, tindak kekerasan menjadi kebiasaan yang terjadi sehari-hari saat ini,” ucap Bupati.
Permasalahan ini terjadi karena kurangnya pemahaman terhadap keberagaman budaya dan keyakinan masyarakat bangsa Indonesia.
Menurut Bupati, Fenomena ini terjadi karena sudah ditinggalkannya nilai-nilai luhur bangsa dalam kehidupan dan berbangsa saat ini.
“Padahal nilai luhur budaya bangsa diyakini mempunyai kekuatan dalam menghadapi gelombang dan paham materialisme, kapitalisme, anarkisme dan radikalisme,” sebut Safitri Malik.
Atas dasar ini negara’ berkewajiban menjamin kebebasan beragama dan kepercayaan semua individu tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa dan lainnya.
Bupati tandaskan, negara berkewajiban agar setiap warga negara dapat menghormati keberadaan dan keanekaragaman agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia.
“Dengan demikian penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai warga negara memiliki hak, kewajiban dan tanggungjawab dalam membangun bangsa,” pungkas Bupati Wanita pertama di provinsi Maluku ini. (***)
Discussion about this post