Lensa Maluku,— Polemik dugaan penelantaran anak dan istri oleh anggota Kepolisian Resor (Polres) Kabupaten Maluku Tenggara, Bripda Didi Hasyadi, kini menuai kecaman keras dari pihak keluarga korban.
Pasalnya, kasus yang sudah bergulir hampir satu tahun itu hingga kini belum menunjukkan perkembangan signifikan. Lambatnya penanganan dari institusi kepolisian menimbulkan kecurigaan bahwa kasus ini berpotensi untuk ditutup-tutupi.
Keluarga korban melalui Sahrul Renhoat, saudara kandung dari istri Bripda Didi Hasyadi, menyampaikan kekecewaannya terhadap kinerja Polres Maluku Tenggara yang dinilai tidak profesional dan tidak berpihak pada korban.
Menurut Sahrul, pihak keluarga sudah berulang kali melakukan upaya komunikasi dan koordinasi, baik di tingkat Polres Malra maupun Polda Maluku, namun tak pernah mendapatkan kejelasan yang memuaskan.
“Sejak awal kami sudah tempuh jalur resmi, kami datang baik-baik untuk minta keadilan, tapi kami merasa seperti dibolak-balik dan dipersulit. Seolah-olah ada upaya pembiaran terhadap kasus ini ujar Renhoat.
Sanksi Disiplin Diperlambat, Institusi Kepolisian Dinilai Abai terhadap Kode Etik:
Bripda Didi Hasyadi yang diketahui berdinas aktif di Polres Maluku Tenggara diduga menelantarkan istri dan anak kandungnya sejak pertengahan tahun 2024. Selama itu pula, tidak ada bentuk tanggung jawab atau komunikasi yang layak dilakukan oleh yang bersangkutan kepada istri maupun anaknya. Situasi ini menyebabkan tekanan psikologis dan beban ekonomi yang berat bagi korban.
“Adik saya dan anaknya hidup susah, tidak ada bantuan nafkah, bahkan ditelantarkan begitu saja. Padahal dia anggota polisi yang seharusnya jadi pelindung dan teladan. Tapi justru berlaku tidak manusiawi kepada keluarganya sendiri” kata Sahrul.
Tindakan tersebut, kata dia, tidak hanya merupakan pelanggaran moral dan tanggung jawab sebagai suami dan ayah, tetapi juga melanggar ketentuan hukum dan kode etik profesi Kepolisian Republik Indonesia.
Berdasarkan data hukum yang dikantongi keluarga korban, Bripda Didi Hasyadi diduga telah melanggar:
Pasal 14 ayat (1) huruf (b) PP Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Pasal 8 huruf (c) juncto Pasal 13 huruf (m) Peraturan Kepolisian Negara RI Nomor 7 Tahun 2002 tentang Kode Etik Profesi Polri,
serta nilai-nilai dasar dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
“Kalau masyarakat sipil yang melakukan ini, pasti cepat ditindak. Tapi karena pelaku adalah anggota polisi, malah seperti dilindungi. Di mana rasa keadilan?,” ungkap Sahrul.
Proses Terlalu Lambat, Keluarga Akan Lakukan Konsolidasi dan Aksi:
Lambatnya penanganan kasus ini juga dibuktikan dengan surat resmi Pemberitahuan Perkembangan Hasil Pemeriksaan (PPHP) yang baru disampaikan pihak kepolisian kepada keluarga pada tanggal 6 Mei 2025. Padahal, laporan telah disampaikan sejak bulan Agustus 2024.
“Baru ada perkembangan setelah sembilan bulan lebih. Itupun hanya surat PPHP tanpa tindak lanjut yang jelas. Ini sangat meresahkan kami sebagai keluarga,” tambahnya.
Keluarga korban pun menduga adanya keengganan atau bahkan upaya pembiaran dari institusi kepolisian untuk menindak salah satu anggotanya. Hal ini menurut mereka sangat mencederai nilai-nilai Tri Brata dan Catur Prasetya, dua pedoman utama yang seharusnya dijunjung tinggi oleh setiap anggota kepolisian.
“Kami sangat kecewa, ini bukan cuma soal hukum, ini soal kemanusiaan. Kenapa polisi yang melanggar malah dilindungi? Institusi Polri harus bersih dan adil, bukan menutup mata terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh anggotanya sendiri,” tegasnya.
Sebagai bentuk kekecewaan dan protes terhadap lambannya penyelesaian kasus ini, keluarga korban menyatakan akan melakukan konsolidasi dengan sejumlah organisasi kemahasiswaan, seperti kelompok Cipayung Plus, dan juga lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) perempuan untuk segera melakukan aksi demonstrasi.
“Kami sedang mengatur waktu untuk turun aksi ke Mapolres Maluku Tenggara dan Polda Maluku. Ini bentuk keprihatinan kami. Kami ingin publik tahu bahwa ada anggota polisi yang menelantarkan anak dan istri, tapi tidak dihukum,” tegas Sahrul.
Keluarga Minta Kapolda dan Propam Turun Tangan:
Keluarga korban juga meminta agar Kapolda Maluku dan Divisi Propam Mabes Polri turun langsung menangani kasus ini. Mereka menilai sudah tidak ada kepercayaan lagi terhadap penanganan kasus oleh internal Polres Malra. Kalau perlu kami akan bawa masalah ini sampai ke tingkat nasional. Kami ingin pelaku ditindak tegas, agar ada efek jera dan tidak ada lagi korban serupa di kemudian hari,” kata Sahrul menutup pernyataannya. (LM-05)
Discussion about this post